/* melanggar aturan dulu ya, lain kali dibebaskan */
Selagi Indonesia menunggu event menakjubkan, aku mengalami event yang memalukan. Semoga ibrah-nya, menjadi event yang tak pernah kulupakan, tertulis dalam prasasti maya ini.
Kejadian ini adalah akumulasi dari kekacauan hatiku karena berbagai hal. Mulai dari target seminar yang diundur lagi gara-gara aku memang tidak matang mempersiapkannya, sampai ajakan temanku untuk ikut ke bisnis yang pastinya akan membuatku semakin pusing. Alhasil, tanpa diadari, aku naik angkot hanya bermodalkan satu koin uang 200 rupiah. Aku kebingungan saat ingin membayar ongkos Tamansari-Cisitu. Alhamdulillah, masih ada pintu ide yang dibukakan untukku. Aku turun dari angkot sambil berkata, "Maaf Aa, lupa bawa uang. Saya pinjam uang dulu ya." Dan siapa orang yang uangnya aku pinjam?
Seoarang pemilik toko yang sebenarnya tidak terlalu kenal denganku, hanya saja aku sering membeli di sana. "Maaf Aa, bisa pinjam uang 1.500 buat bayar angkot? Saya lupa bawa uang."
"Oh iya", tanpa berpikir panjang dengan sigap ia langsung membuka laci dan memberikanku uang.
Aku pun berlari menuju angkot yang masih terjebak macet di belakang Sambil tersenyum dan berterima kasih, ia menerima uang tersebut.
"Makasih Aa."
--
Duh, betapa memalukannya aku. Dan yang membuatku menangis, aku teringat dulu nenek-nenek yang berkata dengan lembut, ingin meminjam uang dariku untuk pergi ke suatu daerah. Pengemis?
Berbagai pikiran negatif melayang-layak di benakku. Dengan egonya, aku mengabaikan nenek yang sedang kebingungan itu, pergi menjauh, berharap tidak menemuinya lagi. Dan bukan 1-2 kali hal itu terjadi, namun reaksiku tetap sama saja.
Astaghfirullah, kurang ajar sekali aku. Betapa kerasnya hati ini, terlalu banyak kotoran menutupi fitrahnya sebagai hati manusia yang harusnya penuh dengan kasih sayang. Malu rasanya diri ini sebagai mahasiswa, memikul peran sebagai aktivis dakwah, terlebih saat itu sedang mengenakan jaketnya. Teganya ada saudara kita yang memerlukan bantuan, aku acuh saja. Khawatir ini lah, takut itu lah, hanya berbagai kecurigaan tak mendasar yang aku jadikan alasan untuk mengelak.
Ngapain toh bantuin orang, harus mikir panjang-panjang? Itu mah amalan muamalah, membantu saudara kita yang tidak perlu terlalu lieur untuk langsung dikerjakan. Alih-alih menghindar dari alasan itu, ibadah mahdhah yang harusnya dipelajari ilmunya malah dikerjakan dengan hanya sekedar 'ikut-ikutan' tanpa dengan sungguh-sungguh mengkaji tata caranya lebih dalam dan rajin.
Media masa, blog ataupun cerita-cerita orang telah dipenuhi dengan nasehat, anjuran untuk tidak mempercayai orang-orang yang kini mempunyai banyak 'modus' untuk 'meminta-minta' kepada kita. Bukan hal yang salah memang, membagikan pengalamannya dan mengajak kita untuk selalu berhati-hati. Namun kemudian, kecenderungan manusia untuk memilih informasi yang negatif, lebih suka membaca koran mengenai berita kriminal daripada berita pembangunan desa di wilayah sekitar kita. Dari banyaknya tausyiah untuk senang berinfak, memberikan shadaqah, kita lebih memilih untuk menbaca artikel tentang orang yang meminta orang lain membeli jam tangannya untuk bisa pulang kampung, dan setelah dibawa ke rumah jam tangan tersebut rusak. Atau mendengarkan cerita tentang sejumlah orang yang setelah berkeliling di perempatan jalan membawa kotak amal, masuk ke rumah makan dan menyantap hidangan disana, dengan menggunakan uang sumbangan itu, katanya.
Bukan urusan kita untuk memikirkan, "pengemis ini miskin atau tidak ya". Bukan juga kemudian tidak mau memberikan sebagian isi dompet kita kepada anak jalan karena mereka bandel, tidak mau diatur dan lari dari pembinaan Rumah Anak Jalanan. Itu urusan Allah yang akan meminta pertanggungjawaban dari apa yang telah mereka (dan kita) kerjakan. Urusan kita adalah, ada sebagian dari rezeki yang Allah berikan kepada kita, untuk diberikan kembali kepada-Nya lewat tangan-tangan yang mendekat kepada kita, bahkan memberi sebelum mereka mendekat. Itu saja.
Tepat sekali aku selepas membaca dalil-dalil mengenai infaq dan shadaqah di QS. Al Baqarah 261-274. Mengenai pembahasan menyangkut media dan informasi yang banyak beredar, aku bisa ambil salah satu dari surat tersebut
Tentunya menampakkannya hanya agar dicontoh oleh orang lain, bukan untuk riya'.
Yah, sambil memperkaya informasi, anjuran untuk tidak pelit memberikan sebagian rezeki kita. Terima kasih untuk artikelnya teh Anis. Sip, lain kali harus ikutan sigap seperti Aa penjaga toko tadi untuk mengulurkan tangan kepada siapa saja yang memerlukan bantuan, tidak perlu mencari tahu orang tersebut berbohong atau tidak. Semangat Fastabiqul Khairat!
Jadikan pengalaman menyedihkan ini, kekuatan untuk menjadi lebih baik, bukan hanya diri ini tetapi semua pembaca. Bulan saja yang biasanya menerangi malam, sesaat memberikan sedikit kegelapan dengan menutup sumber cahayanya, kini telah membukanya kembali, berharap cahaya selanjutnya bisa bersinar lebih terang lagi. Amin.
--
dan permohonanku dikabulkan, saat ingin mengambil uang di ATM, ada seorang ibu dengan senyum manisnya menyerahkan amplop kosong bertuliskan "Amal untuk Yayasan ..."
Selagi Indonesia menunggu event menakjubkan, aku mengalami event yang memalukan. Semoga ibrah-nya, menjadi event yang tak pernah kulupakan, tertulis dalam prasasti maya ini.
Kejadian ini adalah akumulasi dari kekacauan hatiku karena berbagai hal. Mulai dari target seminar yang diundur lagi gara-gara aku memang tidak matang mempersiapkannya, sampai ajakan temanku untuk ikut ke bisnis yang pastinya akan membuatku semakin pusing. Alhasil, tanpa diadari, aku naik angkot hanya bermodalkan satu koin uang 200 rupiah. Aku kebingungan saat ingin membayar ongkos Tamansari-Cisitu. Alhamdulillah, masih ada pintu ide yang dibukakan untukku. Aku turun dari angkot sambil berkata, "Maaf Aa, lupa bawa uang. Saya pinjam uang dulu ya." Dan siapa orang yang uangnya aku pinjam?
Seoarang pemilik toko yang sebenarnya tidak terlalu kenal denganku, hanya saja aku sering membeli di sana. "Maaf Aa, bisa pinjam uang 1.500 buat bayar angkot? Saya lupa bawa uang."
"Oh iya", tanpa berpikir panjang dengan sigap ia langsung membuka laci dan memberikanku uang.
Aku pun berlari menuju angkot yang masih terjebak macet di belakang Sambil tersenyum dan berterima kasih, ia menerima uang tersebut.
"Makasih Aa."
--
Duh, betapa memalukannya aku. Dan yang membuatku menangis, aku teringat dulu nenek-nenek yang berkata dengan lembut, ingin meminjam uang dariku untuk pergi ke suatu daerah. Pengemis?
Berbagai pikiran negatif melayang-layak di benakku. Dengan egonya, aku mengabaikan nenek yang sedang kebingungan itu, pergi menjauh, berharap tidak menemuinya lagi. Dan bukan 1-2 kali hal itu terjadi, namun reaksiku tetap sama saja.
Astaghfirullah, kurang ajar sekali aku. Betapa kerasnya hati ini, terlalu banyak kotoran menutupi fitrahnya sebagai hati manusia yang harusnya penuh dengan kasih sayang. Malu rasanya diri ini sebagai mahasiswa, memikul peran sebagai aktivis dakwah, terlebih saat itu sedang mengenakan jaketnya. Teganya ada saudara kita yang memerlukan bantuan, aku acuh saja. Khawatir ini lah, takut itu lah, hanya berbagai kecurigaan tak mendasar yang aku jadikan alasan untuk mengelak.
Ngapain toh bantuin orang, harus mikir panjang-panjang? Itu mah amalan muamalah, membantu saudara kita yang tidak perlu terlalu lieur untuk langsung dikerjakan. Alih-alih menghindar dari alasan itu, ibadah mahdhah yang harusnya dipelajari ilmunya malah dikerjakan dengan hanya sekedar 'ikut-ikutan' tanpa dengan sungguh-sungguh mengkaji tata caranya lebih dalam dan rajin.
Media masa, blog ataupun cerita-cerita orang telah dipenuhi dengan nasehat, anjuran untuk tidak mempercayai orang-orang yang kini mempunyai banyak 'modus' untuk 'meminta-minta' kepada kita. Bukan hal yang salah memang, membagikan pengalamannya dan mengajak kita untuk selalu berhati-hati. Namun kemudian, kecenderungan manusia untuk memilih informasi yang negatif, lebih suka membaca koran mengenai berita kriminal daripada berita pembangunan desa di wilayah sekitar kita. Dari banyaknya tausyiah untuk senang berinfak, memberikan shadaqah, kita lebih memilih untuk menbaca artikel tentang orang yang meminta orang lain membeli jam tangannya untuk bisa pulang kampung, dan setelah dibawa ke rumah jam tangan tersebut rusak. Atau mendengarkan cerita tentang sejumlah orang yang setelah berkeliling di perempatan jalan membawa kotak amal, masuk ke rumah makan dan menyantap hidangan disana, dengan menggunakan uang sumbangan itu, katanya.
Bukan urusan kita untuk memikirkan, "pengemis ini miskin atau tidak ya". Bukan juga kemudian tidak mau memberikan sebagian isi dompet kita kepada anak jalan karena mereka bandel, tidak mau diatur dan lari dari pembinaan Rumah Anak Jalanan. Itu urusan Allah yang akan meminta pertanggungjawaban dari apa yang telah mereka (dan kita) kerjakan. Urusan kita adalah, ada sebagian dari rezeki yang Allah berikan kepada kita, untuk diberikan kembali kepada-Nya lewat tangan-tangan yang mendekat kepada kita, bahkan memberi sebelum mereka mendekat. Itu saja.
Tepat sekali aku selepas membaca dalil-dalil mengenai infaq dan shadaqah di QS. Al Baqarah 261-274. Mengenai pembahasan menyangkut media dan informasi yang banyak beredar, aku bisa ambil salah satu dari surat tersebut
Jika kamu menampakkan sedekah-sedekahmu, maka itu baik. Dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka itu lebih baik bagimu dan Allah akan menghapus sebagian kesalahan-kesalahannmu. Dan Allah Maha Teliti apa yang kamu kerjakan.
Tentunya menampakkannya hanya agar dicontoh oleh orang lain, bukan untuk riya'.
Yah, sambil memperkaya informasi, anjuran untuk tidak pelit memberikan sebagian rezeki kita. Terima kasih untuk artikelnya teh Anis. Sip, lain kali harus ikutan sigap seperti Aa penjaga toko tadi untuk mengulurkan tangan kepada siapa saja yang memerlukan bantuan, tidak perlu mencari tahu orang tersebut berbohong atau tidak. Semangat Fastabiqul Khairat!
Jadikan pengalaman menyedihkan ini, kekuatan untuk menjadi lebih baik, bukan hanya diri ini tetapi semua pembaca. Bulan saja yang biasanya menerangi malam, sesaat memberikan sedikit kegelapan dengan menutup sumber cahayanya, kini telah membukanya kembali, berharap cahaya selanjutnya bisa bersinar lebih terang lagi. Amin.
--
dan permohonanku dikabulkan, saat ingin mengambil uang di ATM, ada seorang ibu dengan senyum manisnya menyerahkan amplop kosong bertuliskan "Amal untuk Yayasan ..."
2 comments:
kadang kita terlalu sombong pada diri kita sendiri... Menganggap diri kita lebih baik.. hummm.. sebaiknya sebelum tidur kita renunngi yang terjadi seharian tadi... dan memperbaiki hal yang kurang di masa mendatang...
Humm... life isn't easy as you think, but isn't hard as you see..
keep praying..
Um, I think so.
Terlalu sombong hingga menutup hati nurani, tak mau mendengar masukkan dari orang lain. Hanya pendapat yang sejalan saja yang masuk, yang kadang malah itu sisi negatifnya.
Yow, live our life however it easy or hard.
Thanks Ayu.
Post a Comment